Jendela Besar yang (Mungkin) Tak Lagi Berfungsi
Bila kita ingat pelajaran Geografi zaman sekolah dulu, ada teori “Junghuhn” yang mengklasifikasikan iklim berdasarkan ketinggian. Semakin tinggi tempatnya, semakin sejuk pula udaranya. Itulah mengapa suhu udara di Bandung lebih sejuk daripada Jakarta karena secara elevasi, letak Bandung lebih tinggi 700 meter daripada Jakarta.
Namun, bila hari-hari ini kita tanyakan ke khalayak umum — khususnya orang-orang Bandung — apakah kota ini masih layak disebut kota sejuk, agaknya tak sedikit yang meragukannya. Meski secara elevasi Bandung lebih tinggi, tetapi panasnya kala siang bolong kini bisa dianggap setara dengan panas di kota pesisir. Faktornya beragam: pembangunan yang kian padat, polusi, dan pemanasan global. Alhasil penggunaan AC pun semakin lumrah.
Nah, meskipun AC mulai marak di mana-mana, bangunan gerejaku di Bandung sampai hari ini tidak menggunakan pendingin udara sama sekali.
Ketika gereja dipugar dari bangunan lamanya dan rampung pada tahun 2002, para perancang mendesain ruang ibadah selaras dengan kondisi iklim tropis. Dengan tinggi tiga lantai, pada lantai dua dan tiga diciptakan langit-langit yang tinggi beserta jendela-jendela besar di kiri-kanannya. Hasilnya, kondisi di dalam bisa tetap sejuk meskipun di siang bolong sekalipun karena angin bisa keluar masuk dengan leluasa.
Namun, Minggu kemarin (12/05), ada kabar tak mengenakkan yang kudengar. Di sisi kiri gereja kami tanah kosongnya telah dibangun sebuah apartemen tinggi menjulang. Alhasil pemandangan yang dulu lapang dari balik jendela kini terhalang beton. Sisi kanan masih aman karena tinggi bangunan tetangga lebih rendah sehingga angin masih bisa masuk… tapi, sepanjang ibadah berlangsung, aku terganggu dengan suara mesin crane dan asap diesel yang masuk ke jendela, menjadikan sensasi duduk mendengarkan khotbah seperti sedang motoran di belakang truk.
Seusai ibadah, aku bertanya ke Garry, seorang rekan pemuda yang berjemaat tetap di situ.
“Ger, itu bangunan sebelah mau dibangun?”
“Iya,” jawabnya. “Udah dijual itu, Ry, terus sekarang mau dibangun showroom mobil katanya.”
“Waduh,” aku agak kaget. Kupikir rumah tetangga itu sekadar direnovasi.
“Nanti kalau itu showroom udah jadi, kayaknya mau gak mau gereja kita harus pasang AC.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran. Kuingat lagi betapa jendela-jendela besar kami telah berfungsi memberi kesejukan selama lebih dari dua dekade, masakan dia harus dipensiunkan?
“Nanti kalau bangunan sebelah udah jadi, udah gak bakal ada angin lagi masuk atuh,” tegas Garry. “Di kiri udah ada apartemen, di kanan ada showroom. Selain angin gak akan lagi masuk, bakalan gelap juga karena sinar matahari ikut kehalang.”
Kabar ini segera menyedihkan hatiku. Hidup tanpa pendingin udara adalah salah satu kebanggaan yang sering kuceritakan pada teman-temanku yang lahir dan besar di Jakarta dan sekitarnya. Terlintas nostalgia akan masa-masa kesejukan dulu, ketika pagi-pagi sebelum jam 6 aku sudah berangkat ke sekolah naik sepeda sambil memakai jaket, atau bagaimana kami para pemuda menanti rapat jam 1 siang bolong dengan angin semilir yang masuk lewat jendela-jendela gereja… yang terkadang membuai kami untuk rebahan.
“Yah… bakal mahal dan duit lagi atuh ya,” responsku terhadap cerita Garry.
Memasang AC untuk menjadikan ruangan lebih dingin tidaklah tanpa konsekuensi — keluar uang lebih untuk beli pasang alatnya, penggunaan, dan perawatan juga sudah pasti. Ditambah lagi ada dampak lingkungan berupa lebih besar lagi energi yang diperlukan untuk menggerakkan mesin pendingin ini.
Namun, apa boleh dikata?
Dunia berubah dengan cepat. Perubahan pasti terjadi. Entah jadi lebih baik, atau lebih buruk. Lebih untung atau lebih rugi.